Selamat Datang di blog HI UGM 07

Sesuai dengan ucapan di atas, blog ini adalah blog anak HI UGM 07

Kamis, 10 Juli 2008

Capres SLTA dan Sarjana

Dalam media massa, wacana capres memang sudah tidak asing dan selalu dipermasalahkan dalam tiap saat menjelang pemilu. DPR juga sudah mendiskusikan apa syarat capres untuk pemilu, khusunya terutama pemilu 2009. Pemilu 2009 sudah di depan mata, hanya tinggal hitungan bulan maka ada pemilihan umum, dan hitungan hari, kampanye dan bendera siap dipasang di rute-rute berangkat kerja. Hal yang difokuskan di sini adalah kenapa presiden harus SLTA dan kenapa Presiden haru Sarjana? Kenapa tidak SLTP atau hanya lulusan SD.

Konstitusi Indonesia telah menerapkan pendidikan minimal seorang Capres atau presiden adalah SLTA. Melihat dari hal tersebut banyak fraksi yang meragukan mana yang lebih pantas untuk menjadi Capres.

Lulusan SLTA berarti lulusan SMA (ya elah, semua juga tau itu), lulusan SLTA dalam konteks pemikiran paling tidak mendapat edukasi yang cukup tinggi dan tentu mempunyai logika yang lebih baik. Kenapa saya katakan mempunyai logika yang lebih baik? Pertama adalah karena paling tidak mereka belajar algoritma dan mereka tentu belajar masalah matematika yang memang terbukti melatih logika. Hal tersebut memang bukanlah sebuah absolutisme, namun memang sudah sebuah fakta yang terjadi kepada banyak orang. Kemudian dari sisi edukasi memang banyak lulusan SLTA yang telah belajar masalah politik dan sosial lebih dalam, karena masalah kedewasaan yang sudah cukup ada, serta pengetahuan tentang politik tersebut lebih luas, terlepas dari kepintaran individu masing-masing, maka paling tidak individu tersebut tahu mana yang benar dan salah. Alasan kedua adalah lulusan SLTA atau sederajat adalah dimana pendidikan orang sudah cukup lengkap, dengan kemampuan baca dan tulis, serta komunikasi yang cukup lancar dan mempertimbangkan lulusan SLTA juga adalah dalam tenaga kerja terdidik. Meskipun di era sekarang, banyak lulusan SLTA yang kerja di kantor hanya sebagai tukang ketik, namun sekali lagi, paling tidak mereka mempunyai kemampuan cukup. Selain itu, banyak pertimbangan bahwa lulusan SLTA yang bisa menentukan arah. Apabila mereka bisa mempunyai uang yang cukup banyak atau mereka mempunyai beasiswa, maka mereka pasti akan pergi ke bangku kuliah, namun mereka juga bisa memilih untuk masuk akademi atau jalur lain mereka paling tidak sudah siap untuk bekerja secara mandiri.

Lulusan Sarjana atau S1, mempunyai beberapa keunggulan yang memang sudah berbeda dari lulusan SLTA. Lulusan sarjana ataus sederajat mempunyai keunggulan yang lebih fokus dan mereka juga tidak melupakan kemampuan di SLTA. Lulusan sarjana sebetulnya jauh diunggulkan dalam dunia kerja dan dunia nyata. Mereka mempunyai probabilitas diterima sebagai karyawan daripada lulusan SLTA.

Melihat sebuah hal yang lucu, lulusan S1 sebetulnya mempunyai kelemahan dengan adanya persyaratan ini, maka akan banyak orang yang ingin menjadi presiden akan terhalang. Bila melihat edukasi di Indonesia yang dinilai masih cukup mahal, maka tentu hanya sebagian orang yang bisa menjadi presiden, bagaimana dengan khusunya pengusaha dan umumnya rakyat yang hanya lulusan SMA, kenapa mereka harus terhalang haknya untuk berpolitik sebagai presiden hanya karena kualifikasi pendidikan yang cukup tinggi. Pada akhirnya pemerintah akan menuntut pemimpin bangsa adalah lulusan S1, terlepas dari praktek di lapangan, banyak yang harus dilalui seseorang menjadi capres, dan hak politknya akan terhalang oleh biaya.

Berkaca pada tipe masyarakat Indonesia yang majemuk, berorientasi pada kharisma seorang pemimpin, maka perlukah sebuah lulusan S1 untuk maju ke depan, kenapa tidak lulusan SMA saja, pada akhirnya seorang presiden juga akan perlu orang-orang pintar dibaliknya untuk membantu dalam tugas-tugasnya. Seorang presiden juga bukanlah seseorang yang terlalu bodoh dan diperalat oleh orang-orang lain untuk melakukan hal-hal yang tidak perlu.

Menggunakan dan melanjutkan argumen diatas, maka marilah kembali ke hal fundamental. Pendidikan di Indonesia mengatakan wajib belajar 9 tahun, atau dengan kata lain, SMP sudah cukup. Kembali lagi ke masalah biaya, maka siapa yang sekarang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA? Tentu mereka yang punya keuangan cukup untuk hidup dan menyekolahkan sampai tingkat SMA, dengan begitu, berarti bahwa ada sebuah kesalahpahaman antara program wajib belajar dan program pemilu. Program pemilu mengatakan kualifikasi pendidikan SMA, atau sederajat. Hal ini kembali memperkuat adanya sebuah tembok yang menghalangi orang untuk menjadi seorang presiden. Penghalangan ini berarti melanggar hak orang untuk berpolitik, khususnya menjadi capres.

Kesalah pahaman ini bisa diperbaiki dengan beberapa alternatif cara. Pertama adalah menurunkan standar kualifikasi Capres. Kenapa hal ini masuk dalam alternatif ? karena sebuah alasan kesalahan pemerintah yang menyediakan pendidikan hanya sampai SMP, dan yang tidak bisa melanjutkan maka tidak bisa menjadi capres. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah yang cukup adil, agar tidak menghalangi dan menyaring hak politik untuk menjadi presiden yang hanya mampu dilakukan keluarga yang sekolah sampai tingkat SMP.
Alternatif kedua adalah untuk menaikkan wajib belajar menjadi dua belas tahun. Kenaikan standar ini berarti menolong orang agar tidak tersaring hak politiknya. Namun alternatif ini mempunyai kelemahan yaitu bisa digunakan untuk jangka panjang.

Pada dasarnya perlu win-win solution mengatasi masalah pendidikan dan poltik di Indonesia yang jelas dan nyata dari pemerintah apabila ada sebuah proposal untuk capres S1.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Pemilu merupakan sarana untuk menyampaikan aspirasi Politik, Nah dalam politik itu masih nyata benar paradigma "Kepentingan". jadi tidak ada sesuatu yang benar atau salah. yang ada adalah kepentingan.
kalau pihak yang merasa berkepentingan agar salah satu calon tidak dapat mengikuti Pilpres, dengan kepentingan menghilangkan persaingan, maka dicarilah argument untuk pembenaran dari kepentingan tersebut.

Jadi sebagai balasannya, calon yang dijadikan sasaran dari argument tersebut, karena kepentingan untuk dapat tetap mengikuti pilpres, harus mencari argumen agar dapat tetap mengamankan kepentingannya.

Nah disinilah kita sebagai rakyat, dapat menilai, diantara pemimpin-pemimpin yang berebut kekuasaan tersebut, mana yang memanfaatkan kepentingannya untuk rakyat banyak, dan mana yang hanya memanfaatkan kepentingannya untuk kelompoknya saja.

Caranya gampang sekali kok, coba tanya hati kecil kita, pimpinan mana yang mementingkan kepentingan rakyat.

Mungkin saja jawabannya tidak ada....
jadi kita harus memilih yang terbaik dari semua yang buruk dalam arti hanya mementingkan kepentingan mereka saja.

Tetapi hal ini jangan dijadikan alasan untuk tidak memilih (atau Golput), kita tetap harus memilih.

salam
Defrimardinsyah

http://defrimardinsyah.wordpress.com
http://pestarakyat.wordpress.com

HI-UGM 07 mengatakan...

ok mas, boleh tuh kalo jadi artikel n d submit di blog HI UGM.. hehehe submit aja k hiugm07@gmail.com